JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyambangi Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada awal pekan ini.
Sri Mulyani diterima langsung oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin. Keduanya kemudian berdiskusi mengenai kasus yang merugikan keuangan negara itu. Dalam pertemuan, Menkeu Sri Mulyani melaporkan empat debitur. Total dana yang tak dapat diselesaikan dan terindikasi fraud mencapai Rp2,5 triliun.
Mereka di antaranya PT RII senilai Rp1,8 triliun, SMR sebesar Rp216 miliar, PT SMI sebesar Rp1,44 miliar, dan PT PRS sebesar Rp305 miliar. Bisnis melakukan penelusuran terkait utang jumbo ini.
PT RII dalam rapat dewan direktur 2018 disebutkan sebagai PT Royal Industries Indonesia. Rapat bertarik 30 Juli 2028 itu juga membahas update penyelesaian aset bermasalah Johan Group.
Perusahaan ini bergerak dalam bidang agribisnis penyulingan minyak sawit terintegrasi yang beralamat di Surya Cipta Industrial Estate, Karawang. Produk yang dihasilkan yakni mentega Green Lands, emudian ada juga sabun dan deterjen merek Royal. Perusahaan ini juga memiliki kebun sawit.
Berdasarkan salinan keputusan Mahkamah Agung bertahun 2020 tentang pidana perpajakan, pemegang saham Royal Industries pada akhir 2016 yakni Muhammad Asif Khan dengan kepemilikan saham 36.000 lembar, Assad Ullah Asif (12.000 lembar), serta Fatima Batool dan Bilal Asif masing-masing 6.000 lembar.
Sebelum utang menjadi macet parah, Royal Industries mulanya berstatus PKPU. Status yang dimohonkan sendiri oleh pemegang saham. Permohonan PKPU diajukan pada akhir 2017 di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sedangkan pengesahan penyelesaian utang melalui PKPU didapat pada 2018.Perusahaan ini disebutkan memiliki utang Rp5,3 triliun dengan 22 pemberi pinjaman (US$399 juta).
Kreditur terbesar RII adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank) dengan tagihan awal Rp1,63 triliun. Nama lain seperti Deutsche Bank AG Singapore Branch dan First Gulf PJSC Singapore Branch dengan tagihan Rp881,2 miliar. Lainnya adalah CTBC Bank Co, Lltd, Singapura Rp647,94 miliar, dan PT Bank ICBC Indonesia, Siemens Financial Service Inc yang juga masing-masing total tagihan Rp466,52 miliar.
Persoalan kredit jumbo ini semakin rumit, Bank CTBC pada 2021 mengajukan pembatalan PKPU sehingga Royal Industries Indonesia berubah status menjadi pailit dan penyelesaiannya diserahkan kepada kurator.
Bisnis melakukan konfirmasi kepada Riyani Tirtoso, Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif mengenai kredit RII, namun dia mengarahkan kepada divisi humas perusahaan. Sedangkan pihak humas menyatakan sikap perusahaan merujuk pada rilis yang telah disampaikan.
Dalam pernyataan tertulis itu, Riyani mengatakan pihaknya sepenuhnya mendukung langkah Menkeu dan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan hukum yang diperlukan terhadap debitur LPEI yang bermasalah secara hukum.
“LPEI menghormati proses hukum yang berjalan, mematuhi peraturan perundangan yang berlaku, dan siap untuk bekerjasama dengan Kejaksaan Agung, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan aparat penegak hukum lainnya dalam penyelesaian kasus debitur bermasalah,” tutur Riyani dalam keterangan resminya.
KPK Ambil Bagian Usut Kasus Korupsi LPEI
Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani mengadukan kasus ini ke Kejaksaan Agung, lembaga penegak hukum lainnya, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memastikan ambil bagian.
KPK menyatakan telah memulai penyidikan perkara dugaan korupsi fasilitas kredit di LPEI. Pernyataan KPK itu diungkapkan hanya sehari usai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan kasus serupa ke Kejaksaan Agung.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan bahwa proses penegakan hukum di KPK atas kasus bukan kebut-kebutan dengan Kejagung. Dia menjelaskan bahwa pihaknya sudah menerima laporan pengaduan masyarakat terkait dengan kasus itu sejak 10 Mei 2023. Kemudian, KPK telah memulai penyelidikan kasus tersebut pada 13 Februari 2024 sebelum menaikkan status perkaranya ke penyidikan pada hari ini.
“Sekali lagi ini bukan proses kebut-kebutan ya. KPK telah menerima laporan dugaan peristiwa tipikor dalam penyaluran kredit LPEI ini sejak 10 mei 2023,” kata Ghufron pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Non-performing financing (NPF) LPEI
Di tengah laporan fraud LPEI oleh Kementerian Keuangan, kondisi keuangan perusahaan juga tidak sepenuhnya sehat. Kredit macet perusahaan jauh di atas kelaziman 5%.
Merujuk laporan keuangan yang dipublikasikan di laman resminya, LPEI dan entitas anak secara konsolidasi mencatatkan rasio kredit macet (NPF) bruto di level 28,37% pada 30 September 2023. Pada periode yang sama, rasio NPF neto LPEI berada di angka 10,39%.
Jika ditelisik, pembiayaan dan piutang bermasalah LPEI mencapai Rp22,13 triliun pada kuartal III/2023, yang terdiri dari mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat (AS).
Untuk perhitungan mata uang rupiah, terdiri dari pembiayaan dan piutang bermasalah di sektor pertanian, perburuan, dan sarana pertanian mencapai Rp3,27 triliun. Perdagangan, restoran, dan hotel sebesar Rp1,36 triliun, perindustrian senilai Rp6,66 triliun, dan pertambangan mencapai Rp1,02 triliun.
Sementara itu, untuk sektor pengangkutan, pergudangan, dan komunikasi mencapai Rp254,66 miliar, konstruksi Rp68,17 miliar, jasa dunia usaha Rp443,07 miliar, dan jasa sosial atau masyarakat Rp9,8 miliar.
Di sisi lain, untuk mata uang dolar Amerika Serikat (AS), tercatat sektor pertanian, perburuan, dan saran pertanian memiliki pembiayaan dan piutang bermasalah senilai US$690,21 miliar.
Kemudian, perdagangan, restoran, dan hotel senilai US$579,03 miliar, perindustrian US$5,96 triliun, pertambangan US$456,52 miliar, pengangkutan, pergudangan, dan komunikasi US$338,95 miliar, jasa dunia usaha senilai US$674,11 miliar, dan jasa sosial atau masyarakat adalah US$7,73 miliar.
Masih mengacu laporan keuangan, LPEI menyebut pihaknya telah melaksanakan penghapusbukuan kredit macet sebesar Rp16,51 miliar pada 30 September 2023.
Adapun, kriteria debitur yang dapat dihapusbukukan meliputi fasilitas kredit telah digolongkan macet, fasilitas kredit telah dibentuk dengan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebesar 100% dari pokok kredit macetnya, telah dilakukan berbagai upaya penagihan dan penyelamatan namun tidak berhasil.
Kriteria lainnya adalah usaha debitur sudah tidak memiliki prospek atau kinerja debitur buruk atau tidak ada kemampuan membayar, dan hapus buku dilakukan terhadap seluruh kewajiban kreditnya, termasuk yang berasal dari non- cash loan sehingga penghapusbukuan tidak boleh dilakukan pada sebagian kreditnya (partial write-off).
“Kredit yang dihapusbukukan dicatat di ekstra-komtabel. LPEI terus melakukan usaha-usaha penagihan atas kredit yang telah dihapusbukukan,” ungkapannya.